SELEPAS AZAN SUBUH JUM’AT ITU

Selepas azan jum’at subuh itu, seorang pemuda tanpa wajah
Berdiri dalam bingkai pintu
:aku pesuruh, menunggu tiga puluh hari yang lalu di dahan
randu belakang rumahmu.

Perlahan dari panggung kurus itu tumbuh sepasang sayap biru.
Kata ibu, “Kemarin, menjelang magrib, sekejap ada hinggap di atap
Dan mencengkeram gada-gada rumah.”

Pertandakah itu, ibu?
Aku kira, manusia adalah burung;
Mencari tuhan dengan sayap.

Ketika ayah berangkat bersama sang pemuda,
Aku tinggalkan adik dan ibu dan hidup kuserahkan
pada lampu merah.

Selepas azan subuh jum’at itu,
seorang pemuda desa tak mampu sembunyikan
kecemasan; kecemasan abad gelap bocah
Transylvania melihat kelelawar cakar lorong
gelap—tatkala Ali, teman mengasongnya,
tertangkap petugas.
Ia pun melangkah dan mengumpat:
Aku akan taklukkan setiap riak di laut.
Emper toko dan lampu merah merindukannya.

Usai minum secangkir kopi susu, nelayan tua itu angkat sauh
selepas azan subuh jum’at itu.
Tanpa kecemasan di wajah, berangkat ke
arah matahari, sambil bernyanyi:

Dayung aku dayung
Payung aku tak butuh payung
Jaring aku tebar jaring

Tiba-tiba nyanyiannya terhenti
sebab seekor camar hinggap tegak di puncak tiang layar
sodorkan sepasang sayap
:aku camar pesuruh, menunggu tiga puluh hari yang lalu
di puncak tiang layarmu.

Sejenak riak laut memburai
Gelombang meliuk-liuk dan terurai
Lalu tenang kembali.
[1999]

0 comments:

Lemari Pendingin