HALUAN KAPAL DI HALAMAN KAPEL
Begitu aku tak sempat melihatmu tumbuh
Dari kecebong lucu menjadi perawan penuh
Sebab girang akan disentak dari geladak
Bila pinggang kapal telah merapat.
Aku ingat engkau tiba-tiba
Bermain air di pinggir Toba
Awan berpencar tembuni
Lamtoro tebar bau yang kau benci
Sejak itu aku paham: kenangan hanya semacam
gatal di kening; berubah kembang atau kumbang
atau kunang-kunang.
Begitu aku tak sempat melihatmu cemburu
Pada pinggang kapal melengok berlabuh
Girang aku sentak naik ke haluan
Tapi habis jadi lauk makan malam.
Di halaman kapel tua buatan Belanda
Di bawah ketiak patung Bunda Maria
Laba-laba jantan desah kenang betina
Mungkin karena lubang bekas peluru di pintu gerbangnya itu.
[maret, 2002]
TASBIH
bagai bubur sia-sia, ia duduk kecapaian di teras
sehabis mencari 3 biji tasbihnya yang tercecer ke mana.
Tasbih tua pemberian seseorang di penjara dulu
digantung di tanduk rusa sebuah ruang tamu
“Mungkin sudah berubah jadi buah kersen,” kata tekukur
yang tergantung di serambi.
Seruput kopi pertama luncuri kerongkongan penuh lubang
Disulut gulungan tembakau hutan, kursi pun digoyang
---ikan berlarian!
Mata nyembul dari balik karang
Ah, angin sore celup jari di air kolam
Dilepasnya gagang cangkir dan seruput kedua
Jumput lima jari di toples cemilan
Bunga mangga merunduk ciumi tiang serambi
Berbisik ada kabar yang buruk sekali
Ah, kemarau akan kacau ladang tembakau
Diliriknya kersen matang sebesar biji tasbih
terukur mengepak gelisah
ada yang menggetarkan sapu lidi di sudut serambi
menunda kesah
menunda mengkal mangga
[oktober 2002]
AWALNYA, DIRIKAN TENDA
MENUNGGU TANDA
MENUNGGU TANDA
-bb
Rerempuan menjepit tangan di ketiak
Sisir jalan yang dulunya setapak
Sesak jejak sesat menetak semak
Di dua detak
dua detik
Ah, lampu menunduk menunggu rayu
Rerempuan maju capai tepi sepi
Memandang ke titik-titik api
Mereka adalah kumbang yang berpisah dari rombongan
Diami lereng mendulang cahaya bulan
Atau keluarga pemburu menancap suluh
Dirikan tenda
Menunggu tanda
Mungkin juga kerlip penghabisan
Sebuah kampung kedap nyaring sebuah ketinggian
Mungkin juga bangsaku
Rerempuan mandul yang diasingkan
Duduk memeluk lutut depan perapian
Dilantar lelaki perayu dari sebuah perahu
Bila malam penuh taji begini
Aku hanya butuh sebuah nganga
Biar maut meronce leluasa
[September 2002]
0 comments:
Post a Comment